Sempat mengalami masa kejayaan pada tahun 1970-an, keberadaan wayang klithik, belakangan ini, terlihat mulai langka dan hampir punah. Bahkan, dalang wayang klithik yang saat ini masih bertahan di wilayah diy pun diketahui tinggal satu orang, yaitu Ki Sudarminta, asal Tambaksari, Ngemplak, Sleman.
Hingga tahun 1970-an, pentas wayang klithik semacam ini mungkin bukan merupakan barang yang langka di wilayah DIY. Terutama di wilayah perbatasan kabupaten Sleman, diy dengan kabupaten Klaten, Jawa Tengah. Hampir setiap ada perhelatan keluarga, seperti penganten atau khitanan anak, pentas wayang jenis ini selalu digelar.
Namun, seiring perkembangan zaman, keberadaan wayang klithik ternyata masih terpinggirkan dan hampir punah. Tidak banyak lagi pagelaran wayang klithik, karena, sudah digantikan berbagai hiburan modern lain, seperti organ tunggal, campur sari dan sebagainya.
Tak ayal, jumlah dalang wayang klithik pun, saat ini, terus berkurang. Satu-satunya dalang wayang klithik yang masih bertahan adalah Ki Sudarminta, asal Tambaksari, Ngemplak, Sleman. Meski bertahan, ia mengaku sudah jarang pentas wayang klithik. Dalam kurun waktu 4 tahun terakhir, ia mengaku, baru mementaskan wayang klithik sebanyak 2 kali.
“Awalnya, saya hanyalah seorang perajin wayang klithik, namun, karena sering diminta mementaskan, ia pun akhirnya mencoba menjadi dalang wayang jenis ini,” kata Ki Sudarminta. Dibanding memainkan wayang purwa dari kulit, memainkan wayang klithik harus lebih berhati-hati, karena, “jika tidak, wayang klithik justru akan rusak atau patah”, ujar Ki Sudarminta. Berbeda dengan wayang purwa biasa, wayang klithik memang terbuat dari kayu yang keras.
Wayang klithik pertama kali diciptakan oleh raja kraton Surakarta, Sunan Pakubuwono ke-dua, dengan mengadopsi dari munculnya wayang krucil, yaitu wayang kulit berukuran kecil. Wayang klithik dibuat dari kayu yang pipih pada bagian tubuh, kaki dan kepalanya. Sementara, pada bagian tangannya, masih dibuat dari kulit. Karena saat dipentaskan menimbulkan bunyi klithik-klithik, wayang ini pun disebut wayang klithik. Berbeda dengan wayang kulit biasa yang mengambil cerita dari Mahabarata dan Ramayana, pentas wayang klithik biasanya mengambil cerita dari jaman Panji Kudalaleyan di Pajajaran hingga jaman Prabu Brawijaya di Majapahit. (*)
“Awalnya, saya hanyalah seorang perajin wayang klithik, namun, karena sering diminta mementaskan, ia pun akhirnya mencoba menjadi dalang wayang jenis ini,” kata Ki Sudarminta. Dibanding memainkan wayang purwa dari kulit, memainkan wayang klithik harus lebih berhati-hati, karena, “jika tidak, wayang klithik justru akan rusak atau patah”, ujar Ki Sudarminta. Berbeda dengan wayang purwa biasa, wayang klithik memang terbuat dari kayu yang keras.
Wayang klithik pertama kali diciptakan oleh raja kraton Surakarta, Sunan Pakubuwono ke-dua, dengan mengadopsi dari munculnya wayang krucil, yaitu wayang kulit berukuran kecil. Wayang klithik dibuat dari kayu yang pipih pada bagian tubuh, kaki dan kepalanya. Sementara, pada bagian tangannya, masih dibuat dari kulit. Karena saat dipentaskan menimbulkan bunyi klithik-klithik, wayang ini pun disebut wayang klithik. Berbeda dengan wayang kulit biasa yang mengambil cerita dari Mahabarata dan Ramayana, pentas wayang klithik biasanya mengambil cerita dari jaman Panji Kudalaleyan di Pajajaran hingga jaman Prabu Brawijaya di Majapahit. (*)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar