Kerajinan Wayang beber ini sudah mulai ditekuni Pujianto Kasidi, warga desa Gabukan RT 10/4 Kecamatan Tanon, Sragen, sejak tahun 1980-an. Sejak lama, bapak berusia 50 tahun dengan satu anak ini memang gemar melukis. Terutama lukisan wayang. Sempat merantau ke Jakarta pada masa mudanya, akhirnya ia memilih kembali ke kampung halaman dan menekuni hobi melukisnya.
Prihatin dengan makin dilupakannya tradisi wayang beber, ia pun mulai mencoba mendokumentasi wayang beber dalam karya lukisnya. Belakangan, justru lukisan wayang beber inilah yang menjadi daya tarik warga terhadap karya-karyanya. Tak ayal, tidak sedikit warga yang datang ke rumahnya untuk mengoleksi karya-karyanya. Agar semua permintaan bisa dipenuhi, ia pun harus dibantu dua karyawannya untuk menyelesaikan pesanan.
Karena memerlukan ketekunan lebih, dalam sebulan, Pujianto paling banyak bisa menyelesaikan satu lembar wayang beber. Satu lembar wayang beber tersebut biasanya dijual dengan harga mencapai puluhan juta rupiah. Tak hanya di dalam negeri, karya-karyanya juga banyak diminati warga di luar negeri, terutama Jepang dan Suriname.
"Berbeda dengan wayang purwa atau wayang kulit biasa, wayang beber dibuat di atas kertas atau kain," kata Pujianto. Ditambahkan,"Jika wayang purwa biasanya dipahat, wayang beber dibuat dengan cara dilukis". Satu lembar lukisan wayang beber biasanya berisi satu rangkaian cerita kerajaan Jenggala, Kediri. Sementara, wayang purwa biasanya menggambarkan kerajaan Barata dan Astina.
Di tengah banyaknya peminat, hingga kini, Pujianto masih menyimpan keprihatinan. Terutama, terkait sulitnya melakukan regenerasi, akibat tidak adanya lagi generasi muda yang mau menekuninya. Selain rumit, kerajinan ini juga dinilai tidak bisa dijadikan gantungan hidup. (*)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar