Selasa, 08 Februari 2011

Kerajinan Limbah Kulit Ikan Nila

Kulit ikan nila atau kakap merapi yang biasanya hanya dibuang, ternyata bisa dimanfaatkan menjadi bahan pembuat kerajinan tas, sepatu dan dompet yang sangat indah dan bernilai ekonomis tinggi. Kerajinan inilah yang ditekuni seorang warga di Gumpang, Kartasura, Sukoharjo, Jawa Tengah, sejak sepuluh tahun lalu.




Lihatlah aneka tas yang sangat indah ini. Meski harganya mencapai ratusan ribu rupiah, namun, aneka tas dari kulit ini sangat digemari berbagai kalangan di dalam dan luar negeri. Apalagi, tekstur kulit yang ditampilkan terlihat sangat indah dan unik, berbeda dengan kebanyakan bahan kulit lainnya.



Lihatlah juga aneka kreasi sandal dan sepatu indah ini. Tampil dengan perpaduan kulit dan karet sintetis yang indah. Dijual dengan harga puluhan hingga ratusan ribu rupiah per pasang, aneka sandal dan sepatu ini pun tak kalah laris manis.




Namun, tahukah anda, jika aneka kreasi kerajinan tersebut ternyata dibuat dari bahan limbah yang selama ini hanya dibuang. Yaitu, kulit ikan nila atau kakap merapi. Selama ini, ikan nila biasanya hanya dimanfaatkan dagingnya untuk berbagai jenis makanan, namun, kulitnya hanya dibuang sebagai sampah atau limbah.



Di tangan kreatif Rahmawati, limbah kulit ikan nila ini disamak dan digunakan untuk berbagai bahan kerajinan. "Awalnya memang tidak mudah untuk membuat bahan kulit yang menampilkan tekstur khas ikan seperti sekarang, karena, memang masih jarang," kata Rahmawati.



Berbagai upaya pun dilakukan, termasuk dengan melakukan penyamakan hingga luar daerah seperti Sidoarjo, Jawa Timur dan Yogyakarta. "Namun, hasilnya tetap tidak memuaskan," katanya. Baru di balai kulit Yogyakarta-lah, ia bisa membuat pola bahan kulit dengan tekstur ikan yang menonjol. istilahnya,"Ikan banget..", kata Rahmawati.

Setelah disamak, kulit ikan nila biasanya dikeringkan selama semalam. Baru kemudian dipotong sesuai pola yang diperlukan. Kemudian dijahit dan dirangkai menjadi tas, sepatu, sandal atau dompet. "Kerajinan ini sudah saya tekuni sejak tahun 1990-an", katanya.



Sebelumnya, Rahmawati dan suaminya, Tono, mengaku, hanya menjual ikan nila dalam bentuk utuh pada para pedagang di pasar-pasar. Namun, akibat kesulitan pasokan, keuntungan mereka pun terus menurun. Penurunan keuntungan ini justru membuat mereka menjadi kreatif, dengan memanfaatkan bahan-bahan yang selama ini dibuang. Seperti sirip, kulit, daging, kepala dan sebagainya. (*)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar