Senin, 06 Desember 2010

Dialog Budaya & Gelar Seni “YogyaSemesta” Seri-38, Sambut Peringatan 1 Sura 1943 Tahun Dal dengan Membedah Misteri Merapi

MERAPI adalah sebuah enigma, penuh misteri. Ketika meletus, banyak tafsir pun bermunculan. Apalagi, pada saat bersamaan, Gunung Slamet dan Dieng, Bromo dan Semeru pun menunjukkan peningkatan aktivitasnya. Sebuah kebetulan ataukah  ada tanda-tanda dari peristiwa ”koor” gunung berapi di tanah Jawa ini?

Guna membedah hal tersebut, dialog Budaya dan Gelar Seni “YogyaSemesta” Seri-38 pun akan mengangkat topik “Misteri Merapi: Penanda Perubahan Zaman”. Dalam acara ini, fenomena Merapi akan dibahas dari berbagai disiplin ilmu.



Aspek vulkanologi akan dibahas oleh Prof. Dr. Ir. Conrad Danisworo, Guru Besar Fakultas  Geologi UPN “Veteran” Yogyakarta. Aspek lingkungan oleh Prof. Dr. Suratman, MSc, Dekan Fakultas Geografi UGM. Aspek sosial-budaya oleh Djangkung Sudjarwadi, SH, LLM, Kepala Kantor Wilayah Ditjen Pajak DIY, dan aspek arkeologis-budaya oleh Drs. Djoko Dwiyanto, MHum, Kepala Dinas Kebudayaan DIY. Dialog dipandu Hari Dendi, Pengasuh “YogyaSemesta”.

Dialog akan digelar pada Selasa malam, 7 Desember 2010 jam 18:30-22:00 di Bangsal Kepatihan Yogyakarta dan terbuka untuk umum (tanpa undangan). Dialog ini sengaja digelar pada malam satu sura, karena, dianggap sebagai saat yang tepat bagi semua kalangan, terutama elite pemimpin bangsa untuk melakukan introspeksi melalui misteri Merapi. Selain dialog, juga ditampilkan adegan selang-seling dari pergelaran wayang kulit ringkes dengan dalang Ki Sunardi, Kepala Sekolah SMKN-1 (d/h. SMKI) Bugisan, lakon “Legenda Merapi”, dengan dukungan guru, karyawan dan para anak didiknya. Acara juga akan diisi dengan penggalangan dana bagi korban Merapi dan warga kali Code.

Guna memahami arah dialog tersebut, berikut kutipan latar belakang acara itu, sebagaimana dirilis pihak penyelenggara:


Misteri Merapi:
Penanda Perubahan Zaman


MERAPI adalah sebuah enigma, penuh misteri. Ketika meletus, mengundang banyak tafsir. Di balik itu, secara bersamaan Gunung Slamet dan Dieng, Brama dan Semeru dinyatakan status waspada. Malah saat ini Gunung Brama setelah dinyatakan status awas, telah meletus mengeluarkan kepulan asap hitam. Tanda-tanda apakah gerangan peristiwa ”koor” gunung berapi di tanah Jawa ini?


Mitologi Jawa
Inilah kalkulasi mistik soal itu. Boleh percaya boleh tidak, tapi inilah kepercayaan orang Jawa. Jika tidak percaya anggap ini bagian dari pengetahuan tentang budaya. Namun kalau percaya, begitulah nenek-moyang manusia Jawa melihat jaman ke depan melalui tanda-tanda. Dalam keyakinan Jawa, tertib jagat sangat penting. Alam dan manusia ciptaan-Nya, dan satu serta yang lain tidak boleh saling mengganggu yang bersifat destruktif. Sebab jika ada yang terganggu, maka pengganggunya pun juga akan terganggu, mengikuti rotasi cakra-manggilingan.

Dalam menggambarkan tertib dunia itu, manusia Jawa memampangkan
melalui sketsa kuasa dan Keraton. Keraton ini bisa ditafsir sebagai kerajaan atau negara. Keraton pertama disebut Keraton Manusia yang diperintah manusia. Keraton kedua adalah Keraton Api berupa gunung-gunung berapi. Dan Keraton ketiga adalah Keraton Laut yang kekuasaannya di lautan. Jika Penguasa Keraton Manusia bisa berganti-ganti, Keraton Api justru permanen. Demikian juga, sinyal mistik yang ditangkap darinya.

Keraton Api ini dalam keyakinan itu terbagi dalam tiga grade. Grade pertama dipandegani trah Mataram dan trah Majapahit. Trah Mataram itu diidentifikasi manjing (tinggal) di Gunung Merapi. Itu tersurat jelas dalam babad, saat Pajang menyerang Mataram, Panembahan Senapati berbagi tugas dengan Ki Ageng Sela, dan Gunung Merapi pun meletus membinasakan pasukan Pajang (de Han & de Graff). Sedang trah Majapahit manjing di Gunung Lawu. Itu bisa dirujuk dari keyakinan mokswa-nya Raja Brawijaya di Alang-Alang Kumitir di Candi Cetha, Jenawi, dan bukti sejarah Candi Sukuh sebagai area ritus Sang Raja sehabis lengser keprabon dan  madeg pandita.

Kelak ketika Islam kian tumbuh menjamur di Tanah Jawa, Gunung Lawu mendapat sebutan baru sebagai area Sunan Lawu, yang konotasinya sama, mimikri Brawijaya. Untuk apologia mitos ini, dalam serat digambarkan prosesi Brawijaya masuk Islam yang tidak disetujui Sabda Palon dan Naya Genggong sebagai penasehat spiritualnya. Juga diikuti ancaman ’Sang Raja Demit’ yang kelak membinasakan Tanah Jawa lima ratus tahun sejak Brawijaya jadi mualaf. Padahal sejarah mencatat, Brawijaya wafat dan diperabukan di Candi Brahu.

Grade kedua adalah Keraton Api sekadar sebagai tanda (tetenger). Gunung yang berfungsi seperti ini adalah Gunung Slamet yang bertindak sebagai tanda adanya kebaikan. Gunung Dieng sebagai tetenger nikmatnya mereka yang melakukan kebaikan yang disimbolisasikan dengan Istana Kahyangan. Dan Gunung Brama sebagai tetenger penggembira. Amuk akan tambah njegadrah (berkobar-kobar) jika Gunung Merapi meletus diikuti letusan Gunung Brama. Kalau ini terjadi, maka dalam keyakinan Jawa ada kemungkinan suksesi di Tanah Jawa akan terjadi. Kalau kita menggunakan paham cakra-manggilingan, maka luncuran lahar dingin dari Istana bisa jadi boomerang meluncur balik ke Istana (?).

Sedang grade ketiga adalah Keraton Api sebagai kekuatan konstruktif,
pinandita, dan gunung sepuh (tua). Gunung yang masuk kategori ini adalah Gunung Kelud. Gunung ini diyakini sebagai manjing-nya Raja Jayabaya yang akan datang di akhir jaman dijemput Senapati Tunggul Wulung.

Nama ini acap dikaitkan dengan Kristenisasi di Mojowarno. Tokoh asal Pati sebagai cikal-bakal Kristen Jawi Wetan itu menyebut dirinya Kiai Tunggul Wulung yang kelak ‘melahirkan’ Kiai Sadrach (1835) yang mengamalkan sinkretisme Kristen. Dia merasa terdapat kemiripan antara Nabi Isa dan Raja Jayabaya, serta melakukan dakwah itu setelah turun dari bertapa di Gunung Kelud (van Akkeren).



Gunung lain yang masuk klasifikisai gunung tua adalah Semeru. Gunung
ini simbol kearifan, kesaktian, dan peredam gejolak amarah. Gunung Semeru diyakini tempat bertapanya Semar. Tokoh wayang ini merupakan personifikasi orang Jawa yang sempurna, berwatak rendah hati, sederhana, ikhlas menerima suratan miskin, hidup di desa, tapi punya ke-waskita-an dan kesaktian luar biasa. Ini adalah senjata pamungkas kalau sewaktu-waktu dinista dan dizalimi penguasa.

Sedang Keraton Laut diperintah Kanjeng Ratu Kidul. Dalam mitos tokoh ini dekat dengan Mataram. Konon pernah bertemu Panembahan Senapati di Parangkusuma, juga dengan Sunan Kalijaga di Gua Langse, dan bercinta dengan Sultan Agung sambil mengitari bumi. Namun itu semua hanyalah simbol. Ekspresi dari keyakinan Jawa tentang sangkan-paraning dumadi. Tentang asal dan akhir manusia.

Dari pertemuan lingga (yang disimbolkan gunung) dan yoni (yang disimbolkan lautan) menjadi embrio, lahir, hidup, dan kelak kembali ke asal tanah (Ranggawarsita, Serat Wirid Hidayat Jati). Namun simbol-simbol yang filosofis itu terkandung perspektif kejadian yang akan datang. Tertib dunia yang konotasinya harmoni merupakan pakem soal itu. Artinya, sebelum amuk laut dan amuk gunung ini mereda, masih akan ada amuk pamungkasnya. Itu adalah amuk di jagat manusia berupa bencana sosial (!).

Berdasar kepercayaan itu, maka hari ini dan hari-hari yang akan datang
suasana panas akan melanda negeri ini. Manusia gampang terpancing emosi. Perselisihan diselesaikan melalui adu fisik. Dan dari sisi politik, rebut kekuasaan, perang intrik dan fitnah tak terhindarkan. Ritme ini terus meninggi sampai semuanya reda kembali, saat lahir kembali harmonisasi Keraton Laut, Keraton Api, dan Keraton Manusia.

Namun jika Gunung Merapi bertahan dengan letusannya disusul letusan Gunung Brama dan gunung-gunung di luar Jawa, serta diimbangi tetap tenangnya Gunung Semeru, Dieng, Slamet, dan Kelud, maka ini sangat berbahaya bagi ketenteraman negeri ini. Sebab situasinya akan chaostik yang mungkin saja disusul suksesi (?).

Sekarang kita amati pergerakan amuk gunung yang puluhan berstatus waspada itu. Kita cocokkan prediksi serat-serat kuna itu, apakah masih relevan atau tidak, sambil introspeksi diri. Selain itu, kita juga jangan terlalu percaya pada suratan ini. Sebab hakekatnya para pujangga yang menuliskan itu sedang mengamalkan sastra puja. Suratan metafisis untuk menambah spirit Sang Raja. Adalah lebih bijak, jika kita lihat, pantau, dan renungkan berbagai bencana yang sedang melanda negeri ini. Tentu, sambil berdoa (Djoko Suud Sukahar, detikNews, 1 Nopember 2010).
Penanda Perubahan
Secara garis besar sejarah Merapi dapat dibagi menjadi 4 bagian (Bedhommier, 1990), yakni Pra-Merapi, Merapi Tua, Merapi Pertengahan, dan Merapi Muda. Oleh karena aktivitasnya terus-menerus, menjadikan Merapi sumber bahan galian, pasir, kerikil dan batu yang tidak ada habisnya. Selang beberapa minggu setelah suhunya mendingin, endapannya dapat dieksploitasi. Dengan hati-hati menghitung resiko bahayanya, dipandang dari sudut ekonomi, daerah yang alur sungainya mengalir awan panas menjadi daerah yang diuntungkan.

Dari sejarahnya, Merapi seakan menandai proses perubahan zaman, sejak Pra-Merapi sampai sekarang, yang mengakibatkan kepindahan Kerajaan Mataram-Hindu ke Jawa Timur. Meski letusannya tidak sebesar seperti pada masa silam itu, letusan baru-baru ini tentunya juga berdampak pada pergeseran pola pikir dan perilaku penduduk lereng Merapi.

Menurut teorema van Peursen , fase-fase perkembangan kebudayaan dibagi menjadi tahap-tahap mitis, ontologis dan fungsional. Tahap mitis merujuk saat manusia merasakan dirinya terkepung oleh kekuatan-kekuatan gaib Merapi dan lingkungannya. Ketika orang berpikir bahwa awan panas itu memiliki tenaga gaib, ia berpikir secara mitis. Ia tidak mengambil jarak antara obyek dan dirinya.

Dalam tahap ontologis, sikap manusia bergerak menuju ke upaya eksploratif, tumbuh keinginan mencari tahu dari sumber-sumber yang bisa dipercaya. Ketika dalam kurisitas itu, ia memperoleh informasi mengenai unsur-unsur dan sifat awan panas itu, lalu menemukan cara atau sarana guna menghidari dari terjangan awan panas, maka ia berpikir ontologis, karena sudah mengambil jarak dengan obyek.

Ketika kemudian pada pasca bencana bisa memanfaatkan material letusan untuk kesejahteraan hidupnya, ia berpikir fungsional, yang menggambarkan sikap dan alam pikirannya semakin maju dan rasional. Ia tidak lagi terlalu tergantung pada lingkungannya (sikap mitis), atau mengambil jarak yang tegas dengan obyek (sikap ontologis), tetapi mengadakan relasi-relasi baru dengan segala sesuatu dalam lingkungannya, maka ia telah berpikir fungsional.

Ketersediaan berpuluh juta meterkubik abu, pasir, krikil dan batuan berkualitas tentu akan berdampak adanya pergeseran mata pencaharian, menuju ke sektor perdagangan, industri dan jasa-jasa, tanpa meninggalkan pertanian dan peternakannya. Dari sini dapat diperkirakan, juga akan membawa serta pergeseran sikap dan perilaku. Karena alam pikiran mitis itu mulai terkikis oleh masuknya teknologi.
Dengan teknologi, transformasi berpikir ke alam pikiran ontologik dan fungsional terjadi dengan lebih cepat. Meski mungkin pergeseran cara berpikir itu berlangsung secara evolutif, tapi bisa dipastikan juga akan mengubah sikap dan perilaku mereka menjadi lebih rasional dan dinamik.

Peradaban Baru
Menurut analisis sejarawan Inggris, Arnold Toynbee, bahwa semua peradaban berjalan melalui kemiripan siklus proses kejadian, pertumbuhan, disintegrasi, keruntuhan dan kebangkitan. Suatu peradaban terdiri atas transisi dari kondisi statis ke aktivitas dinamis. Tantangan dari lingkungan alam dan sosial memancing tanggapan kreatif dalam masyarakat, yang mendorong masyarakat itu memasuki peradaban baru.

Peradaban terus tumbuh ketika tanggapan terhadap tantangan awal berhasil membangkitkan momentum budaya yang membawa masyarakat keluar dari kondisi equilibrium memasuki keseimbangan yang berlebihan (overbalance), yang tampil menjadi tantangan baru lagi. Masing-masing respons berhasil menimbulkan suatu ketidakseimbangan yang menuntut penyesuaian kreatif baru.

Dalam kerangka pikir seperti itulah, Merapi yang menyimpan enigma (misteri), memerlukan interpretasi para sejarawan, budayawan, arkeolog maupun yang lain. Merapi memang berpengaruh pada Sejarah Mataram, dimana dalam banyak hal juga masih penuh misteri. Meski kontroversial, sebagian ahli memperkirakan tidak hanya mengubur artefak Candi Borobudur, tetapi juga, berikut peradaban tinggi Kerajaan Mataram-Hindu hilang dari muka bumi. Konon, akibat letusan dahsyat itu memaksa Mpu Sindok memindahkan pusat pemerintahan ke tepi Sungai Brantas, yang kemudian melahirkan Kerajaan Kediri, Jenggala, Singasari, hingga Majapahit.
  
    Dalam hal itu, menarik untuk mengangkat opini Ki Juru Bangunjiwa (KR, 16 Januari 2006) yang berasumsi, bahwa mahakarya Borobudur yang sedemikian kokohnya, bahkan seakan ngèmpêri jagat pun, tidak bisa bertahan terhadap amukan alam. Kita merasa khawatir, jika pemerintahan sekarang ini terpusat hanya di satu tangan, seakan ingin ngèmpêri jagat, sehingga melampaui kondisi overbalance, bisa saja kalau kemudian terjadi sesuatu yang tidak kita harapkan (!).  

Menurut teorema van Peursen , fase-fase perkembangan kebudayaan dibagi menjadi tahap-tahap mitis, ontologis dan fungsional. Tahap mitis merujuk pada saat manusia merasakan dirinya terkepung oleh kekuatan-kekuatan gaib di sekitarnya. Ketika orang berpikir bahwa awan panas Merapi memiliki tenaga gaib, ia berpikir secara mitis.
Ia tidak mengambil jarak antara obyek dan dirinya. Dalam tahap ontologis, sikap manusia bergerak menuju ke upaya eksploratif, tumbuh keinginan untuk mengetahui segala sesuatu. Ketika dalam penelaahan itu, ia menerima informasi kandungan unsur-unsur dan sifat-sifat awan panas, lalu menganalisis karakteristiknya agar bisa terhindar dari terjangan awan panas, maka ia berpikir ontologis. Ia mengambil jarak dengan obyek.

Ketika kemudian menggunakan kandungan awan panas itu, pasir, krikil atau batuan, untuk kesejahteraan hidupnya, ia berpikir fungsional, menunjukkan sikap dan alam pikiran rasional. Ia tidak lagi terlalu tergantung pada lingkungannya (sikap mitis), atau mengambil jarak yang tegas dengan obyek (sikap ontologis), tetapi juga mengadakan relasi-relasi baru dengan segala sesuatu dalam lingkungannya dengan pendekatan fungsional.

Dalam alam pikiran agraris kita, suasana berpikir mitis itu masih kuat. Misalnya, ada larangan bagi penduduk untuk melihat lahar di sungai, apalagi berteriak (alok-alok) mengomentarinya. Karena aliran lahar dianggap mahluk halus sedang memperbaiki jalan raya. Masyarakat mempercayai sungai dan jurang merupakan jalan tembus mahluk halus Merapi menuju Laut Selatan . Jangankan alok-alok mendekat, warga desa Argamulya yang tinggal di kanan-kiri dekat Kali Gendol pun banyak yang menjadi korban lava pijar yang membawa awan panas, bersamaan dengan meluluh-lantakkan desa Argamulya.

Siklus Zaman
Dalam budaya agraris yang dekat dengan alam, orang menghayati waktu sebagai bagian darinya. Bahkan manusia dipersepsi masuk dalam siklus roda putar waktu yang silih-berganti, cakra-manggilingan, peredarannya selalu berputar teratur.

Sejarah seakan berulang, setelah berselang 500 tahunan, berdirilah kembali Mataram-Islam di lereng Merapi. Bila tanda-tanda alam dipercaya sebagai metafora sejarah, maka terdapat semacam siklus yang kekal untuk semua rentetan peristiwa. Ada repetisi, pengulangan berkali-kali yang menetap, meski dengan cara yang tak sama. Episode itu diawali dalam kelahiran, proses menuju dewasa, hingga akhirnya tumbang dalam kematian, seperti dikiaskan mulai dari tembang Mijil, hingga Megat-ruh, yang berakhir pada Pocung.

Siklus merupakan perulangan peristiwa yang biasa terjadi di alam. Siang berganti malam, akibat rotasi bumi pada porosnya. Musim silih berganti akibat kemiringan poros rotasi bumi terhadap bidang orbitnya mengitari matahari. Dan matahari ternyata juga memiliki siklus aktivitas.
Demikian juga terhadap siklus volkanik Merapi yang rata-rata dalam siklus pendek 2-5 tahunan, siklus menengah 5-7 tahunan. Tapi tidak cuma siklus alam, siklus juga terjadi dalam sejarah. Dalam sejarah perjuangan bangsa ditandai dengan siklus 20 tahunan, sejak Boedi Oetomo 1908, Soempah Pemoeda 1928, Proklamasi 1945, Orde Baru 1966 dan Era Reformasi 1998.
     
Sementara putaran zaman yang kita alami kini sedang berada pada masa senja. Orang Jawa mengatakan wayah ing surup. Menjelang senja, asar hampir usai, magrib akan tiba. Sedang berlangsung pergantian, masa transisi dari terang ke kegelapan. Kata para nabi, jangan tidur pada saat-saat demikian. Kalau seseorang tidur menjelang sampai melewati magrib, ia akan mengalami beberapa kebingungan kejiwaan, sebab saat itu kesadaran seseorang sedang melemah. Pada saat surup mata kita rabun, tak memiliki daya tangkap obyektif untuk membedakan cahaya dan kegelapan.

Orang tidak mengerti kapan merasa bangga, kapan harus malu. Orang tidak punya parameter nyaris terhadap apa pun. Tak tampak nyata yang baik dan buruk, mulia atau hina, elegan atau yang tak terpuji. Mengutip pasemon Emha Ainun Najib, yang dimengerti hanya satu: menuruti selera dan kebutuhan sesaat. Begitu banyaknya orang, dari berbagai profesi dan keahlian, tetapi sedikit pun tak mengetahui bahwa sebenarnya mereka sedang kesurupan.

Renungan
Rupanya keadaan sekarang ini mengandung paralelisme sejarah. Dalam Serat Kalatida, setengah meratap, Ranggawarsita berujar lamat-lamat.

Mangkyâ darajating prâjâ
Kawuryan wus sunyâ ruri
Rurah pangrèhing ukârâ
Karânâ tanpâ palupi.........

Negara sedang merosot wibawanya, situasi telah rusak, karena keteladanan menjadi barang langka. Orang meninggalkan aturan-aturan, kaum cerdik-cendekia terbawa arus kebimbangan. Suasana mencekam, karena dunia penuh dengan kekacauan.

Pada zaman Kalabendu alam tengah menggugat kekuasaan, untuk membersihkan noda-noda yang mengotorinya. Sasmita Sang Pujangga wekasan itu berujud nyata lewat drama kemanusiaan yang amat tragis bagi bangsa ini. Tangan-tangan manusia yang tak ramah lingkungan menjadi mantera ajaib memanggil masa-masa terkutuk untuk menyapu apa saja yang tampak. Sebuah teguran yang memilukan. Lalu, teguran untuk siapa? Di negeri yang tindak korupsinya tak juga bisa beranjak dari peringkat lima besar dunia, tentu bisa ditebak jawabnya.
Tuhan tidak tengah bermain dadu dengan nasib ratusan ribu orang yang mati syuhada tersapu bencana. Ada rahasia penuh misteri yang mengharuskan manusia berpikir tidak hanya dengan akal, tapi perlu merenung dengan rasa-rumangsa.

Ranggawarsita paham, sejarah bukan progresi linier, bergerak di garis lurus tanpa fluktuasi. Ia sering mengeluh, tapi tak berbuat sesuatu. Marah, tapi dicemasi rasa takut untuk bergerak. Dia sekadar menunggu, menenggelamkan nasib dalam kearifan individual Sang Raja yang tak kunjung tiba. Sejak masa Socrates, Babad Tanah Jawi, hingga era baru sekarang ini, sejarah mewariskan pelajaran yang sama: Kebatilan mesti dibangkang, juga terhadap alam.(*)

 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar