Senin, 30 Mei 2011

Dialog Budaya & Gelar Seni “YogyaSemesta” Seri-43

Mangayubagya Hari Kebangkitan Nasional Ke-103:


Transformasi Sosial Budaya
Menuju Kebangkitan Nasional Kedua


MENURUT Soedjatmoko (1983) pembangunan ekonomi bukanlah pembangunan ekonomi semata, tetapi penjelamaan dari perubahan sosial budaya. Pembangunan itu merupakan perubahan persepsi dan sikap terhadap kehidupan manusia secara utuh, bukan parsial. Pemahaman kebanyakan orang  terhadap pembangunan adalah aspek kebendaaan, seperti penggunaan bibit unggul, pestisida, traktor, komputer, HP, iPad dan produk-produk teknologi lainnya.


Teknologi baru dapat berkelanjutan apabila diikuti dengan pemahaman tentang organisasi kerja, meknisme kerja, disiplin kerja, waktu kerja, keterampilan kerja dan perubahan sosial lainnya. Oleh karena itu setiap pembangunan menyangkut semua aspek kehidupan. Penggunaan teknologi adalah sekadar alat untuk mencapai kemudahan hidup dan barulah permulaan dari transformasi sosial.


Transformasi Budaya di China
Transformasi budaya di China dipicu oleh sabda Deng Xiaoping pada tahun 1982 yang mengatakan bahwa: kemiskinan bukan sosialisme; sosialisme berarti melenyapkan kemiskinan. Pada kesempatan lain Deng berkata: menjadi kaya itu mulia. Kata-kata tersebut ternyata telah merubah sistem nilai di China. Akibat dari perubahan sistem nilai tersebut banyak pejabat, kader partai, dosen-dosen perguruan tinggi yang berpindah profesi menekuni bisnis dan menggeliatkan bisnis secara besar-besaran di China. Pada generasi berikutnya telah terjadi perubahan profesi sumberdaya manusia, terutama ilmuwan yang beralih profesi dari penjaga nilai Konfusian menjadi penggerak perubahan sosial terbesar di China. 
Perkataan Deng tersebut menjadi filsafat sosial yang mempengaruhi semangat kerja, menjadi sumber inspirasi, dan merubah sikap hidup yang berorientasi pada kemajuan. Pembangunan tidak mungkin berhasil tanpa perubahan sistem nilai yang mendukung pembangunan yang kemudian diikuti oleh transformasi sosial untuk menjadi pondasi dalam persiapan penerimaan teknologi baru.

Kenyataan ini membenarkan tesis John P. Kotter, pakar transformasi budaya organisasi, bahwa suatu perubahan besar dan radikal yang terjadi hanya dimungkinkan, jika dicanangkan dan dimulai dari pimpinan puncak, sebagaimana ucapannya, “...Management deals mostly with the status quo, and leadership deals mostly with change...” 1.

Transformasi merupakan tugas pimpinan puncak, karena menuntut perubahan mindset dan perilaku yang berkaitan dengan budaya masyarakat yang sudah mengakar. Jadi, jangan berharap reformasi tata pemerintahan, misalnya bisa terjadi, bila pimpinan puncak tidak memiliki visi dan keinginan kuat untuk suatu perubahan.

Untuk melakukan reformasi birokrasi harus memperhatikan empat permasalahan mendasar yang beraspek budaya, yaitu pengelolaan perubahan (managing change), pengembangan kepemimpinan (develop leaders), pengelolaan SDM (managing people), dan perubahan budaya kerja (governance culture)2. Mengapa selama ini reformasi birokrasi dan tata pemerintahan belum menampakkan hasil, karena baru menyangkut hard side of change, seperti perubahan pada aspek kelembagaan, sistem dan prosedur yang lebih mudah diidentifikasi. Sementara soft side of change yang berbasis budaya untuk merubah mindset dan perilaku, belum cukup disentuh.

Menurut Soedjatmoko, terdapat tiga pokok pikiran merubah masyarakat dalam mempersiapkan pembangunan3. Pertama, proses pembangunan masyarakat membutuhkan transformasi sosial dalam persiapan penerimaan teknologi baru maupun sistem nilai baru. Kedua, transformasi sosial adalah proses berkesinambungan guna membangun basis kekuatan yang mendukung proses pembangunan. Ketiga, teknologi merupakan alat untuk mempermudah pekerjaan manusia, dan oleh karena itu tidak boleh memperalat manusia. Transformasi akan berjalan dan diterima dengan baik apabila memenuhi tiga aspek, yaitu partisipasi masyarakat, berkeadilan sosial, dan ramah terhadap lingkungan.

1 John P. Kotter, A Force for Change: How Leadership Differs from Management, Kotter Change Phases, Value Based Management.net.
2 Adaptasi Paulus Bambang WS, The Ten Challenges & Pain, CHR: It’s Show Time, portalhr.com.
3 Dr. Hermen Malik, Transformasi Sosial Budaya Menjadi Prasyarat Keberhasilan Pembangunan,
1 Juli 2009.
Indonesia Perlu Revolusi Kebudayaan?
Untuk menjadi negara maju setaraf China yang termasuk kelompok negara-negara BIRC (Brazilia, India, Rusia, China), agar terjadi perubahan sosial yang mendasar dalam menghadapi kompleksitas persoalan sebagai dampak globalisasi, apakah Indonesia memerlukan Revolusi Kebudayaan, atau mengadopsi dan mengadaptasi Restorasi Meiji (Meiji Ishin)?

Perubahan sosial adalah proses dimana terjadi perubahan struktur dan fungsi suatu sistem sosial. Perubahan tersebut terjadi sebagai akibat masuknya ide-ide pembaruan yang diadopsi oleh para anggota sistem sosial yang bersangkutan. Proses perubahan sosial biasa terdiri dari tiga tahap: (1) Invensi, proses dimana ide-ide baru diciptakan dan dikembangkan, (2) Difusi, proses dimana ide-ide baru itu dikomunikasikan ke dalam sistem sosial, dan (3) Konsekuensi, perubahan-perubahan yang terjadi dalam sistem sosial sebagai akibat pengadopsian atau penolakan inovasi. Perubahan terjadi jika penggunaan atau penolakan ide baru itu mempunyai akibat.

Perubahan sosial dalam masyarakat bukan merupakan sebuah hasil atau produk, tetapi merupakan sebuah proses. Perubahan sosial merupakan sebuah keputusan bersama yang diambil oleh anggota masyarakat. Konsep dinamika kelompok menjadi sebuah bahasan yang menarik untuk memahami perubahan sosial. Kurt Lewin dikenal sebagai bapak manajemen perubahan, karena ia dianggap sebagai orang pertama dalam ilmu sosial yang secara khusus melakukan studi tentang perubahan secara ilmiah.

Konsepnya dikenal dengan model force-field yang diklasifikasi sebagai model power-based, karena menekankan kekuatan penekanan. Menurutnya, perubahan terjadi karena munculnya tekanan-tekanan terhadap kelompok, individu, atau organisasi. Ia berkesimpulan bahwa kekuatan tekanan (driving force) akan berhadapan dengan penolakan (resistence) untuk berubah. Perubahan dapat terjadi dengan memperkuat driving force dan melemahkan resistence to change1.

Menurut bukunya “The Heart of Change2, John P. Kotter dan Dan S. Cohen menyatakan, orang terdorong untuk berubah karena ia ”melihat” urgensi untuk berubah, ”merasakan” kepentingan untuk berubah, dan untuk selanjutnya siap ”melakukan” perubahan. Ketiga prinsip itu, ternyata bukan bermuara pada pendekatan manajemen, teknis, anggaran, atau pun pendekatan ilmiah, melainkan berujung pada perubahan sikap manusia pada SDM yang terlibat dalam perubahan tersebut.

Belajar dari Sejarah
1 Dian Widi Prasetyo, Definisi Perubahan Sosial dan Tipe-Tipe Perubahan Sosial, Tugas Kuliah,
3 Januari 2010.
2 Sinar Harapan, Merangkul Perubahan, Siapa Takut?, 2003.
Sayangnya peringatan hari-hari bersejarah, ternyata tidak meninggalkan ”kesan” yang mendalam kepada bangsa Indonesia untuk berubah. Momentum Satu Abad Proklamator, Bung Karno dan Bung Hatta masing-masing di tahun 2001 dan 2002, serta Satu Abad Kebangkitan Nasional Tahun 2008, tidak ubahnya dengan rutinitas peringatan-peringatan bersejarah lainnya.

Namun bagaimana pun, mengenang peristiwa penting kebangsaan mesti tetap menjadi lahan meneguhkan semangat integratif serta memperbaiki dan memulihkan kondisi moral kebangsaan yang kini rapuh. Sebab momen-momen itu, merefleksikan long march perjuangan sebuah bangsa mempertahankan kehadirannya dalam kegelisahan menghadapi hari-hari esok. Momentum itu mestinya menjadi sumber inspirasi bagi perubahan ke depan.

Betapa pun kita membesar-besarkan suatu momentum sejarah, kalau tak bisa menarik pelajaran untuk berubah, kita tak akan memperoleh apa-apa, kecuali cuma sebuah upacara seremonial belaka. Jika memang demikian, maka benarlah ungkapan sejarawan Taufik Abdullah (2001), bahwa sejarah tidak memberikan pelajaran apa-apa, kitalah yang harus belajar daripadanya. Bung Karno pernah mengingatkan kita dengan ungkapan bersayap Jali-Merah” --”jangan sekali-kali meninggalkan sejarah.

Artinya, jangan sampai mengulangi kesalahan yang pernah dilakukan bangsa ini di masa silam. Sejarah mengajarkan, proses panjang menjadi “Indonesia”, bukan hanya diisi sejarah kejayaan masalalu dan kesuraman masakini, namun juga upaya tidak kenal lelah untuk terus menjaga optimisme agar terjadi perubahan, sehingga masa depan lebih baik tersedia bagi kita.

Karenanya, belajar sejarah bukanlah sekadar belajar mengenang peristiwa, memuja pahlawan, dan menistakan pengkhianat. Belajar sejarah adalah belajar untuk meraih dan rnenyegarkan kembali semangat dan ikhtiar yang bergelora, optimisme yang tak pernah padam, serta kebanggaan dan harga diri sebagai dasar bagi kita untuk menata kembali keyakinan dan arah masa depan; menata kembali optimisme bahwa “Indonesia” adalah harapan dan cita-cita bersama.

Namun, sebagaimana biasanya, momen-momen bersejarah seperti itu lekas pula berlalu, seakan jarum jam sejarah terasa berputar cepat. Suasana “titik balik” terasa, bukan karena tak ada lagi kemeriahan seremonial, melainkan karena kondisi Indonesia yang jauh dari cita-cita perjuangan para Pendiri Bangsa. Etos kepahlawanan dan nasionalisme yang diwariskan mereka kini terasa kian sirna. Sejarah, belum lagi menjadi bahan refleksi bagi seluruh anak bangsa dalam menyikapi krisis kontemporer dan menghadapi tantangan masa depan. 
Nilai-nilai kebangsaan yang diperjuangkan oleh Budi Utomo malah kini mengalami setback yang tak terduga. Krisis bukan saja karena banjir globalisasi, tetapi juga karena masalah kita sendiri: melunturnya kohesi sosial berbangsa akibat maraknya konflik sosial dalam berbagai bentuknya. Bung Karno, yang dulu pernah berucap Go to Hell with Your Aid, tentu akan bersedih, karena dengan jumlah utang yang tak masuk akal dewasa ini, tidak hanya bakal menyengsarakan rakyat yang mesti menanggung beban, tetapi juga menghancurkan kredibilitas dan harkat bangsa Indonesia di dunia internasional.

Sementara Cara Baik Bung Hatta yang dijadikan tema sentral peringatan Satu Abad Bung Hatta, baru sekadar ”jargon”. Santun, jujur, dan hemat, sebagai ciri khas kepribadian dan kepemimpinan Bung Hatta, masih sesuatu yang mahal di negeri ini.

Alangkah sedihnya para Bapak Bangsa, seandainya mereka melihat bahwa di zaman multikrisis begini ternyata sensitivitas sosial dan sense of crisis para pemimpin masih sangat rendah. Para Pendiri Bangsa juga sedih karena hukum tidak berjalan sebagaimana mestinya. Padahal salah satu tujuan hakiki kemerdekaan adalah meningkatkan harkat dan martabat bangsa, di mana mereka telah dengan gigih memperjuangkannya. Lalu, apakah kita harus “studi banding” dulu ke China, Jepang, Korea, Taiwan atau Singapura untuk belajar transformasi sosial budaya yang menjadi basis sejarah kemajuan mereka?

Kapan Kita Sampai Ke Sana?
Hampir 66 tahun merdeka, Indonesia ternyata masih berada pada tahapan where do we really want to go, belum pada tahapan how to get there dan when we will get there untuk merealisasikan Kebangkitan Nasional Kedua menuju Visi Indonesia 2030 yang masuk lima besar kekuatan ekonomi dunia dengan pendapatan per kapita USD 18,000 per tahun.

Padahal, situasi sekarang ini seakan mundur kembali ke jaman sebelum kemerdekaan. Mungkin bisa lebih buruk, jika faktor perkembangan jaman, termasuk perbandingan dengan bangsa lain, dan faktor waktu disesuaikan. Contohnya saat mayoritas bangsa Asia masih sama-sama berada pada tahap “where”, bertanya dan berjuang dengan kata “kemana”, sekarang mayoritas dari mereka tidak lagi bertanya “where“ atau “how” lagi, tetapi sudah “when”.

Malaysia misalnya, telah lama menargetkan dan bekerja, agar tahun 2020 sejajar dengan bangsa-bangsa maju sekarang. Ternyata, Indonesia masih belum mampu menjawab pertanyaan yang tampaknya sederhana itu. Padahal substansi yang terkandung dalam Pembukaan UUD 1945 teramat jelas memberi jawab, bahwa tujuan bangsa ini adalah mewujudkan masyarakat adil dan makmur, mencerdaskan bangsa, memajukan kesejahteraan rakyat, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia.

Sesungguhnya, pertanyaan “where do we really want to go“ itu dapat direduksi menjadi persoalan bagaimana Pemilu 2014 nanti bisa menghasilkan pemimpin dan anggota legislatif yang benar-benar berkualitas, yang dapat menggerakkan bangsa dan negara mewujudkan amanat UUD 1945 tersebut. Pemilu sebagai perayaan politik, memang merupakan wahana ekspresi rakyat untuk menentukan cetak biru negara masa depan. Sebagai sebuah pesta demokrasi terbesar, selayaknya Pemilu dirayakan oleh peserta-peserta yang bersih dan berjiwa kerakyatan.

Karena itu diperlukan penyadaran, bahwa dalam diri partai itulah diri rakyat disublimasikan dalam kepentingan-kepentingan dan kebijakan-kebijakan yang berorientasi kepada rakyat. Maka yang patut menjadi agenda penting adalah penegakan etika politik yang jujur dan transparan. Sehingga Pemilu 2014 nanti mampu menjawab harapan seluruh bangsa. Ketika bangsa Indonesia terus dihadapkan dengan persoalan yang makin kompleks, kita rindu kehadiran pemimpin yang berhati rakyat. Namun demikian, kepemimpinan yang amanah juga mesti diikuti dengan perubahan sistem.

Sesudah bangsa kita melewati masa gelap, ketika api patriotisme dan semangat kerakyatan memudar, kita tetap menyimpan harapan, bahwa bangsa ini bisa menemukan kembali jiwa Bhinneka Tunggal Ika guna meneguhkan kembali semangat persatuan dan kesatuan bangsa. Sebab, long march yang harus ditempuh bangsa ini menuju masyarakat adil dan makmur, benar-benar masih panjang harus melewati jalan berliku dan terjal serta penuh onak dan duri.

Deklarasi Menuju Kebangkitan Nasional Kedua
Di saat terjadinya gejala kegersangan semangat kebangsaan, sungguh menyegarkan “Seruan Moral Bagi Bangsa” yang pernah disampaikan oleh 100 Profesor dari berbagai Perguruan Tinggi di Yogyakarta tahun 2008. Seruan itu dalam rangka peringatan 100 Tahun Kebangkitan Nasional bak setetes embun di tengah kekeringan panjang di padang ‘kurusetra’ pasca ‘bharatayuddha’ yang cuma membuahkan kenestapaan bagi bangsa.

Tahun 2011 ini, kita memasuki tahun ke-103 Kebangkitan Nasional, 83 tahun Sumpah Pemuda, dan 66 tahun Kemerdekaan. Patahan-patahan sejarah ini menggambarkan ikhtiar tidak kenal lelah dari para pendahulu kita untuk terus mengkonsolidasikan sebuah “Indonesia” yang diimpikan. Kerja sejarah panjang di atas belum berakhir. Di depan kita masih terbentang jalan panjang yang harus kita jelajahi bersama. Jalan panjang untuk menghantar Indonesia menjadi bagian aktif dari tatanan dunia yang damai dan kemanusiaan global yang telah ditetapkan sebagai visi bangsa dalam pembukaan UUD45.


Mewujudkan Indonesia sebagai sebuah cita-cita membutuhkan kesadaran, kehendak dan upaya bersama. Lebih dari itu, kesemuanya harus dilakukan dengan martabat, keteguhan hati, kepastian tujuan dan keyakinan pada kedigdayaan Empat Pilar Kebangsaan, Pancasila, UUD 1945, NKRI dan Bhinneka Tunggal Ika sebagai karunia Tuhan. Tetapi kini, empat pilar itu menghadapi ancaman yang berpotensi pada disintegrasi bangsa, karena banyak kejadian yang mendegradasikan simbol-simbol negara.

Dalam membangun kesadaran, kehendak dan upaya bersama, Budi Utomo telah menyediakan diri sebagai cermin sejarah bagi kita untuk berkaca. Kelahiran Budi Utomo menandai fase baru perjuangan bangsa yang mentransformasi strategi melawan kolonialisme dari perjuangan tradisional ke bentuk perjuangan politik melalui organisasi modern. Sebuah sikap outward-looking dalam menjawab perubahan dan tantangan global.

Dengan keyakinan atas hal-hal di atas, dan tekad yang bulat, seraya memohon ridha dari Tuhan Yang Maha Kuasa, 100 Profesor menyampaikan seruan moral itu dipimpin oleh Ketua Majelis Guru Besar UGM, Prof. Dr. Suryo Guritno, bertempat di gedung Taman Budaya pada 4 Maret 2008.

Deklarasi itu intinya menyerukan perlunya revitalisasi ‘Semangat Budi Utomo’ dengan ‘membangkitkan dan menggelorakan kembali keteladanan kepemimpinan intelektual’, serta aktualisasi cita-cita ‘Tri Sakti Jiwa Proklamasi’, menegakkan kedaulatan politik, mengukuhkan kemandirian ekonomi dan menegaskan kepribadian dalam berkebudayaan sebagai dasar memasuki pergaulan antarbangsa yang bermartabat. Deklarasi itu sejatinya menandai momentum pemancangan tonggak awal semangat dan pencanangan kepada segenap anak bangsa di seluruh pelosok negeri menuju ‘Kebangkitan Nasional Kedua’.

Dialog Budaya & Gelar Seni
Kehadiran para Profesor dalam Dialog Budaya & Gelar Seni “YogyaSemesta” Seri-43 ini yang mengangkat tema “Transformasi Sosial Budaya Menuju Kebangkitan Nasional Kedua”, diharapkan untuk merefleksi sekaligus menjawab tindak lanjut “Seruan Moral Bagi Bangsa” itu.

Para Narasumber yang dihadirkan adalah Prof. Dr. Sjafri Sairin, MA, Guru Besar FIB-UGM, Prof. Dr. Eddy Suandi Hamid, MEc, Rektor UII/Guru Besar FE-UII, Prof. Drs. Purwo Santosa, MA, Ph.D, Guru Besar Fisipol-UGM, dan Prof. Wihana Kirana Jaya, MSocSc, Ph.D, Guru Besar FEB-UGM. Para narasumber akan memberikan gambaran transformasi sosial, budaya, ekonomi yang diperlukan, sesuai disiplin ilmu masing-masing, sebagai
prasyarat dan proses menuju Kebangkitan Nasional Kedua yang bisa diidentikkan dengan pencapaian Visi Indonesia 2030.
Moderator dan host, Hari Dendi, Pengasuh Komunitas Budaya “YogyaSemesta”. Gelar Seni tematik berupa pertunjukan Wayang Republik lakon “Lahirnja Boedi Oetomo” dengan dalang Ki Catur ‘Benyek’ Kuncoro, skenario Drs. Suharyoso, digelar di Bangsal Kepatihan pada Slasa Wage malam, 31 Mei 2011 jam 19.00-22.00.


Yogyakarta, 20 Mei 2011

Komunitas Budaya
YogyaSemesta”,



Hari Dendi
Pengasuh

Tidak ada komentar:

Posting Komentar